Gambar 1.1. Kemasan Indomie di Taiwan
Latar Belakang
Etika bisnis adalah pemikiran atau refleksi kritis tentang moralitas dalam kegiatan ekonomi dan bisnis (K. Bertens, 2000:5). Bisnis yang ber-etika merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bisnis itu sendiri, karena tujuan dari bisnis tidak hanya semata-mata memaksimalkan keuntungan saja yang akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak etis, tetapi juga harus memperhatikan lingkungan bisnis atau disebut sebagai “the stakeholders’ benefit.”
Etika adalah semua norma atau “aturan” umum yang harus diperhatikan dalam berbisnis, yang merupakan sumber dari nilai-nilai yang luhur dengan perbuatan yang baik. Etika berbeda dengan hukum, aturan, maupun regulasi, dimana hukum dan regulasi jelas aturan main dan sanksinya, atau dengan kata lain hukum atau regulasi adalah etika yang sudah diformalkan seperti dalam undang-undang ataupun dalam aturan formal tertulis lainnya.
Etika tidak memiliki sanksi yang jelas, selain sanksi moral. Jika bersandar kepada definisi hukum, maka melanggar etika belum tentu berarti melanggar hukum ataupun peraturan lainnya yang ada. Berbeda halnya jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata, sedangkan melanggar etika sanksinya tidak jelas atau hanya sanksi moral semata, sehingga pada kenyataannya, sering kali etika tidak begitu diperhatikan oleh para pelaku bisnis.
Dalam memperoleh keuntungan, sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis yang dilakukan oleh para perusahaan besar. Sering kali perusahaan terkesan 'menghalalkan segala cara' untuk dapat bersaing dengan para pesaingnya, bahkan apabila dengan melanggar peraturan yang berlaku, Contoh persaingan yang akan dibahas adalah mengenai produk mie instan Indonesia yaitu Indomie, yang pada akhir 2010 lalu di ekspor ke Taiwan.
Permasalahan
Kasus penarikan Indomie di Taiwan ternyata bermula pada 9 Juni lalu saat Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan mendapatkan surat dari Food and Drugs Administration (FDA) Taiwan yang memberitahukan mi instan produk Indofood tidak sesuai persyaratan FDA. "Dalam surat tersebut dilampirkan pemeriksaan produk Indomie dari Januari - 20 Mei 2010, terdapat bahan pengawet yang tidak diizinkan di Taiwan di bumbu Indomie goreng dan saus barberque," ucap Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang dalam rapat dengar pendapat antara BPOM dengan Komisi IX bidang Kesehatan DPR di Jakarta, Kamis 14 Oktober 2010.
Franciscus Welirang yang didampingi direktur Indofood lainnya menyatakan pada pertengahan Juni 2010 Indofood telah merespon surat tersebut. Dalam surat balasan tersebut, Indofood menyatakan selalu menyesuaikan persyaratan dan peraturan yang berlaku di Taiwan.
Pada 2 Juli 2010 telah terjadi pertemuan antara Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan Importir tunggal Indomie di Taiwan untuk merencanakan Nota Kesepahaman. Indomie sendiri, menurut Franciscus, memiliki dua jenis label Indomie untuk ekspor dan domestik.
Sejak Juli hingga awal Oktober 2010, Fransiscus tidak mendengar masalah apapun terhadap Indomie yang diekspor ke Taiwan. Pada 8 Oktober 2010 tiba-tiba mendengar pengumuman di media Taiwan dan Hongkong di kecap Indomie terdapat pengawet yang tidak sesuai. Atas laporan tersebut saat ini, tim Indofood saat ini sedang mencari fakta di Taiwan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kami belum menemukan konteks yang tepat karena dari pihak Taiwan belum ada pengumuman lebih lanjut," ucapnya.
Ia menduga Indomie yang ditemukan di Taiwan bukan untuk pasar Taiwan. "Kami memang tidak bisa mencegah ekspor pararel dari Indonesia," ucapnya.
PT. Indofood merupakan salah satu perusahaan global asal indonesia yang produk-produknya banyak di ekspor ke negara-negara lain. Salah satunya adalah produk mi instan Indomie. Di Taiwan sendiri, persaingan bisnis mi instant sangatlah ketat, disamping produk-produk mi instant dari negara lain, produk mi instant asal Taiwan pun banyak membanjiri pasar dalam negeri Taiwan.
Harga yang ditwarkan oleh Indomie sekitar Rp1.500, tidak jauh berbeda dari harga indomie di Indonesia, sedangkan mi instan asal Taiwan dijual dengan harga mencapai Rp 5.000 per bungkusnya. Disamping harga yang murah, indomie juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan produk mi instan asal Taiwan, yaitu memiliki berbagai varian rasa yang ditawarkan kepada konsumen. Dan juga banyak TKI/W asal Indonesia yang menjadi konsumen favorit dari produk Indomie selain karena harganya yang murah, mereka juga sudah familiar dengan produk Indomie.
Tentu saja hal itu menjadi batu sandungan bagi produk mi instan asal Taiwan, produk mereka menjadi kurang diminati karena harganya yang mahal. Sehingga disinyalir pihak perindustrian Taiwan mengklain telah melakukan penelitian terhadap produk Indomie, dan menyatakan bahwa produk tersebut tidak layak konsumsi karena mengandung beberapa bahan kimia yang dapat membahayakan bagi kesehatan.
Hal tersebut sontak dibantah oleh pihak PT. Indofood selaku produsen Indomie. Mereka menyatakan bahwa produk mereka telah lolos uji laboratorium dengan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan dan menyatakan bahwa produk indomie telah diterima dengan baik oleh konsumen Indonesia selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Dengan melalui tahap-tahap serangkaian tes baik itu badan kesehatan nasional maupun internasional yang sudah memiliki standarisasi tersendiri terhadap penggunaan bahan kimia dalam makanan, indomie dinyatakan lulus uji kelayakan untuk dikonsumsi.
Dari fakta tersebut, disinyalir penarikan produk Indomie dari pasar dalam negeri Taiwan terjadi karena persaingan bisnis semata, yang mereka anggap merugikan produsen lokal.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa tidak sedari dulu produk indomie dibahas oleh pemerintah Taiwan atau mengapa tidak sedari dulu pemerintah melarang peredaran produk Indomie masuk pasar Taiwan, melainkan mengklaim produk Indomie berbahaya untuk dikonsumsi pada saat produk tersebut sudah menjadi produk yang diminati di Taiwan? Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa ada persaingan bisnis yang telah melanggar etika dalam berbisnis.
Analisis Menurut Teori Etika
1. Teori Dentologi
Dalam kasus ini, pemerintah Taiwan mungkin memiliki niat baik untuk melindungi para produsen mie dalam negeri agar tidak kalah saing dengan produk luar. Namun tindakan yang dipilih tentu tidak benar, karena ternyata tuduhan yang ditunjukkan kepada Indomie tidak terbukti, sehingga banyak yang beranggapan bahwa pemerintah Taiwan hanya ‘memfitnah’ pihak Indomie.
2. Teori Teologi
Seperti yang telah dipaparkan pada Teori Dentologi, pemerintah Taiwan tentunya memiliki maksud dan tujuan yang baik untuk melindungi para produsen mie dalam negeri agar tidak kalah saing dengan produk luar negeri.
3. Teori Utilitarisme
Berdasarkan teori utilitarisme, pemerintah Taiwan dapat dinilai tidak etis, karena terkesan menuduh dan menjatuhkan produk Indomie tanpa bukti yang pasti dan jelas.
Kesimpulan
Kasus yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat sebagai contoh kasus dalam pelanggaran etika berbisnis, dimana terjadi kasus yang merugikan pihak Indomie, yang awalnya terjadi karena perindustrian Taiwan yang merasa produknya kalah bersaing dengan produk Indomie ini. Taiwan berusaha menghentikan pergerakan produk Indomie, tetapi dengan cara yang berdampak buruk bagi perdagangan global.
Saran bagi pihak perindustrian Taiwan, agar tidah serta merta menyatakan bahwa produk Indomie berbahaya untuk dikonsumsi (atau menjatuhkan produk lain dengan melakukan fitnah). Apabila ingin melindungi produsen dalam negeri, pemerintah dapat membuat perjanjian dan kesepakatan yang lebih ketat sebelum proses ekspor-impor dilakukan, karena kasus tersebut berdampak besar bagi produk-produk yang di impor ke Taiwan (atau dalam hal ini Indomie) yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia maupun warga negara lain yang negaranya memperdagangkan Indomie asal Indonesia.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/182865-kronologis-penarikan-indomie-di-taiwan
http://irriyanti.blogspot.sg/2014/10/abstrak-irriyanti.html
Riska Ensista Septianti
3EA01
19214491
Tidak ada komentar:
Posting Komentar